Laman

Selasa, 01 Oktober 2013

Ingin Kurengkuh Dunia

Saat usia 3 tahun saya sudah ingin menjadi dokter. Karena kagum dengan jas putih dan stetoskop, serta ucapan terimakasih dari pasien yang telah diperiksa. Nenek saya berkata," Kenapa bisa pengen jadi dokter?" 

Jawab anak usia 3 tahun," ingin beli rumah buat Nenek". 

Berkembang sampai usia 12 tahun. Mulai mengenal ada profesi lain selain dokter. Tetapi saat orang tua saya sakit dan tidak berani ke dokter karena takut obatnya mahal, saya tahu persis, saya ingin jadi dokter. Anak 15 tahun, ingin jadi dokter untuk selamatkan dunia. Bukan mencari mobil atau rumah lagi, tetapi ingin menjadi jawaban bagi orang sakit yang memerlukan dokter. 

Setelah Tuhan membuka jalan secara luar biasa, saya bisa bersekolah di universitas negeri dengan masuk tanpa tes, remaja naif ini mulai sadar, bahwa menjadi dokter itu bukan berarti jadi super hero. Masih banyak misteri Ilahi yang belum diketahui. Dan saya sungguh, bukan anak pandai yang bisa memahami semuanya.

Lulus dokter karena kasih anugerah dari Allah semata, karena saya sekolah dengan bantuan beasiswa, bertekad untuk tidak menarik jasa medis kalau praktek pribadi. Faktanya, saya tidak praktek umum, dan pasien hanya teman-teman saja.

Pukulan bahwa nenek saya meninggal karena gagal ginjal, membuat saya sangat takut dengan 2 penyakit yang sejauh ini, tanpa harapan selain cangkok. Gagal ginjal, dan gagal hati.

Saya belajar, bahwa dokter paling pandai pun, tidak dapat menolong kalau pasiennya tidak punya uang untuk membayar pengobatannya. Bahkan saat memberikan jasa medisnya secara sukarela, tetap saja pasien tetap harus membayar obat dan peralatan yang dipakai. Pengalaman dengan ibu saya dirawat di ICU selama 1 bulan dengan ventilator karena GBS, Guillain Barre Syndrome, membuat saya mengerti mahalnya kesehatan.

Dan, berita itu pun datang. Ayah saya divonis gagal ginjal, setahun setelah ibu saya dipulihkan. Saya protes, tidak mengerti, merasa kecolongan, dan tidak berdaya. Meskipun ayah saya belum sampai di tahap cuci darah, tapi anemia yang dialaminya membuat seluruh kegiatan terhambat. Dan ayah saya masih harus bekerja untuk makan, karena kami bukanlah keluarga yang melimpah harta dunia. Kami hanya memiliki Tuhan yang kaya, yang selalu mencukupkan tepat pada waktunya. 

Membaca jurnal pasien gagal ginjal dari seorang pendeta yang saya belum pernah tatap muka secara langsung, membuat saya terus belajar, menjadi dokter bukanlah dewa. Bahkan dokter benar - benar hanyalah alat kecil di tangan Tuhan yang besar. Seperti obeng di tangan tukang, demikian dokter di tangan Tuhan.

Berkenalan dengan beberapa orang penderita kanker, melihat keluarga berpulang karena serangan jantung, mama saya kembali alami stroke, sungguh, saya belajar arti asuransi. Asuransi tertinggi datangnya dari Sang Pemberi Hidup.

Sungguh, kalau saat ini kita masih bernapas, semua karena kemurahan Tuhan. God's extra ordinary favor.

Saat ini saya masih belajar. Belajar menjadi alat kecil yang berguna di tangan Tuan yang besar. 

Tidak ada komentar: