Laman

Kamis, 19 November 2015

Response One : Listen

Masih tentang response kita terhadap hal yang kita hadapi.

Profesi saya menuntut kesempurnaan. Ilmu, ketrampilan, cara sosialisasi.

Tetapi satu hal yang saya akui, meskipun saat sekolah selalu ditekankan rasa empati terhadap pasien, kenyataannya tidaklah semudah itu. Saya pernah bekerja di UGD sebuah RS Swasta yang dalam 1 shift 8 jam melayani 40-60 pasien. Silakan hitung sendiri berapa menit kesempatan keluarga pasien boleh bertanya panjang kali lebar kepada dokternya. Itupun dengan waktu itu sudah harus digunakan untuk memeriksa pasien, menentukan kegawatan, memberikan tindakan dan juga konsul kepada dokter senior.  

Mendengarkan menjadi hal luar biasa yang harus dipelajari. Mendengarkan identik dengan special time untuk bertatap mata dan memberikan perhatian penuh tanpa disela hal lain, dengan meletakkan pikiran dan perasaan pada subjek pembicaraan. 

Latihan ini berlangsung seumur hidup. Bahkan saat anak mengalami kesulitan dalam pekerjaan rumahnya, seringkali short cut untuk memberi bantuan menjadi tindakan utama, bukannya mendengarkan apa yang menjadi masalah. Demikian pula dengan pasangan. Ketika suami bercerita tentang sesuatu yang sudah kita ketahui endingnya, rasanya ingin memotong dan menyelesaikan pembicaraan tersebut.

Dan saya perhatikan, hal ini terjadi di berbagai profesi. Atas nama efisiensi. 

Mendengarkan tidaklah sama dengan mendengar. Listening is a big different with hearing.

Saya belajar, dan terus belajar.

Tidak ada komentar: