Laman

Rabu, 04 Desember 2013

Demo, Tabu atau Sah?

Sudah lewat seminggu dari demo dokter nasional. Headline masih seputar dokter mogok, buruknya layanan kesehatan, pesimisme dan cibiran masyarakat.

Terlepas dari mengapa dokter mogok, atau berdemo turun ke jalan, ada seorang kawan yang bertanya kepada saya apakah saya ikut demo atau tidak. Kebetulan saya berada di institusi yang tidak memungkinkan saya ikut berjuang dengan rekan - rekan sejawat.

"Bu, tidak ikut demo, kan? Anak Tuhan tidak boleh demo lho." 

Wah, gawat nih urusannya kalau sudah bawa - bawa nama Tuhan.

Saat Kebangkitan Nasional yang diprakarsai oleh Budi Utomo, gerakan itu sama seperti yang saat ini kita sebut demo. Saat kabinet Orde Baru jatuh oleh reformasi, semua dimulai dengan aksi demo, long march, bahkan aksi anarkis. 

Tabukah demo ? 

Saya bukan orang yang suka mengekspresikan ketidaksetujuan dengan turun ke jalan. Tetapi di saat kebenaran diselimuti oleh kepentingan sepihak, di saat ada ancaman terhadap kelangsungan kehidupan sebuah profesi, demo adalah ekspresi meneriakkan suara hati. 

Kekuatiran akan tuduhan serupa, defensive medicine yang mungkin akan terjadi dan membuat biaya kesehatan meningkat, persepsi kelalaian yang berbeda antara medis dan non medis, akan menghantui profesi dokter. Sedangkan "malpraktek" batu bertuah, cream oles ataupun suntikan dari non medis untuk mempercantik diri ataupun membuat lebih perkasa, memakan korban jauh lebih banyak, tanpa konsekuensi tindak pidana kelalaian.

Jadi, tabukah profesi yang dimuliakan ini berdemo ? Bagi saya, tidak. Demo intelektual yang mencari keadilan untuk profesi rentan hukum. 

Hanya catatan saya, tidak perlu mengagungkan suatu profesi, karena semua sama di mata Tuhan, sudah ada porsinya masing-masing.

Tidak ada komentar: