Laman

Selasa, 01 Maret 2011

Satu Menit di Lampu Merah

Suatu hari seorang pengemis menarik perhatian saya. Belum terlalu tua, tidak ada cacat tubuh, menggendong anak kecil yang ditutup selendang kumuh. Pakaian seadanya, kotor dan lusuh. Make up dari debu kendaraan bermotor dan kulit yang tak terawat berwarna gelap.

Saya melambaikan tangan tanda tidak ada uang kecil. Dalam hati saya berpikir, ibu ini masih kuat, bisa bekerja, jadi tukang cuci kah, atau pembantu rumah tangga, cleaning service, ngapain juga minta - minta pakai bawa anak kecil lagi....

Pada waktu yang sama, saya ditegur oleh Tuhan. Mungkin ibu itu memang beneran mengemis, bukan seperti pemberitaan, sindikat pengemis. Mungkin itu benar - benar anaknya yang belum makan, atau bahkan anak pungut. Mungkin juga ibu itu sudah menebalkan hati dan muka agar tidak malu saat mengemis, demi menyambung hidupnya. Dan.... Mungkin juga ibu itu sudah berdoa kepada Tuhan untuk orang yang bermurah hati hari ini, yang memberinya nafkah untuk menambahkan satu hari lagi dalam kehidupannya.

Saya berpikir lagi, seandainya ada tempat penampungan untuk mereka, yang sungguh - sungguh membutuhkan, dicukupi kebutuhannya, diajari bekerja, wow, sungguh alangkah idealnya kerja pemerintah.

Tapi Tuhan kembali mengingatkan saya. Tidak perlu menunggu jadi Kepala Dinas Sosial untuk membuat perbaikan. Tidak perlu menjadi pejabat pemerintahan untuk membuat perbaharuan.
Mulai dari diri sendiri, menjadi jawaban doa bagi mereka. Memberi pekerjaan ? Memberi pakaian yang lebih layak ? Memberikan sepiring nasi ? Memberikan keterampilan ? Memberikan pengobatan ?

Sungguh satu menit di lampu merah yang membuat saya malu untuk menuntut, rindu untuk berbuat lebih.

- seorang tak berarti di tengah kekacauan dunia -

Tidak ada komentar: