My Inspiring Model

Saya dulu sejak SMP sudah menetapkan langkah menjadi seorang dokter. Melihat sekeliling saya, beberapa orang yang kami (keluarga saya) kenal, tidak berani pergi ke dokter karena tidak ada biaya, menjadi motivasi yang kuat untuk bisa menjadi solusi bagi mereka. Idealis, polos, muda. Sampai SMA dan kuliah pun Tuhan menolong saya untuk melalui kesulitan demi kesulitan.


Selesai dokter umum usia 24 tahun, masih tetap lugu dan idealis. Bekerja di RS dengan segudang optimisme menolong sesama. Mulai terbentur kenyataan bahwa tidak selalu dokter bisa memberi solusi. Obat ada, biaya tak ada, apa yang bisa dilakukan ? Terkadang justru semakin perih karena ternyata I can not do anything. Apalagi saat bersentuhan dengan penyakit, saya semakin merasa kecil dan tidak mampu memahami besarnya kuasa Tuhan menciptakan tubuh manusia.


Saat saya praktek umum di RS, ada seorang dokter misionaris, spesialis Penyakit Dalam (wow...betapa inginnya saya menjadi seorang internis), yang sungguh - sungguh menyentuh kehidupan dan visi saya sebagai dokter.


Waktu itu saya bertanya, mengapa dokter bersedia melayani di kota kecil, meninggalkan Amerika Serikat, bekerja di sebuah instansi yang kurang menghargai jasanya (dokter asing cenderung dipersulit meskipun niatnya tulus), membagi ilmunya dengan dokter yang masih muda dan miskin pengalaman seperti saya. Jawabannya sungguh membuat saya tertempelak malu dan terharu. 
"Saya tidak melayani manusia, tetapi saya melayani Tuhan, dan itu cukup. Tidak ada situasi yang terlalu berat dan menjengkelkan karena saya tahu Tuhan memberikan upah yang sebanding."


Bila saat ini ada rasa lelah atau jenuh dalam bekerja, saya selalu mengingat beliau. Saya tidak melayani manusia, tetapi melayani Tuhan, itu cukup sudah.


*hamba Tuhan*